Pada tahun 1825 sampai dengan tahun 1830 pertanda runtuhnya kerajaan Mataram yang ditandai dengan munculnya Perang Diponegoro melawan colonial Belanda.
Posisi pasukan Diponegoro saat itu terdesak sehingga mengadakan rapat tertutup yang berlokasi di Gua Parang Kusumo yang diikuti 15 (lima belas) orang pengikut setia Pangeran Diponegoro, hasil keputusan rapat tertutup tersebut salah satunnya Pangeran Diponegoro memerintahkan 11 (sebelas) orang menuju Kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh Nini Dewi Sekar Arum (Buyut Darimah).
Kanjeng Pangeran Diponegoro menuju pesanggrahan Goa Selarong yang diikuti oleh 4 (empat) orang kepercayaan antara lain :
- Kyai Haji Basah Sentot Prowiro Dirjo.
- Ki Hajar Pamungkas.
- Nyai Ageng Sekar Fajar.
- Nyai Ageng Pandan Arum.
Orang 11 (sebelas) yang mengawali perjalanan dari Mataram menuju sedang menuju kerajaan Mojopahit yang dipimpin oleh Kanjeng Nini Dewi Sekar Arum (Buyut Darimah) telah diterima oleh Ratu Suhitho Kerto Bumi (BHRE KERTA BHUMI).
Dan selanjutnya orang 11 (sebelas) itu mendapat perintah / arahan untuk membuka lahan untuk ditempati dan dikelola diwilayah sebelah selatan Majapahit atau tepatnya sebelah selatan Lereng Gunung Arjuna.
Perjalanan menuju daerah yang sudah ditentukan oleh Kanjeng Prabu BHRE KERTA BHUMI melewati wilayah lereng Gunung Argo Wayang dan Gunung Anjasmoro, dalam perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan sehingga rombongan beristirahat disuatu Gubuk Kosong tak Berpenghuni seperlunya hanya sebatas melepas lelah, dan dilanjutkan perjalanan sampai ketemu pohon yang dinamakan Pohon WIYU yang cukup besar dikala itu untuk menjadi suatu tetenger perjalanan hijrah yang mana suatu saat menurut Buyut Darimah pohon Wiyu akan menjadi salah satu cikal bakal suatu Desa yang mana saat ini seperti yang kita ketahui bahwasannya tempat tersebut telah menjadi sebuah Desa dengan sebutan Desa Wiyurejo, Rombongan melanjutkan perjalanan kearah keselatan dan dilanjutkan kearah Timur.
Dari perjalanan mataram ke majapahit yang diteruskan menuju lokasi yang ditentukan oleh Kanjeng Prabu BHRE KERTA BHUMI melewati wilayah lereng Gunung Argo Wayang dan Gunung Anjasmoro dari sebelas orang tersebut akhirnya berpencar untuk menetap disuatu tempat yang berbeda beda yang mana sampai hari ini dikenal sebagai salah satu pendiri Desa Desa yang ditempati dan dikenal sampai sekarang sesuai cerita sesepuh Desa Giripurno antara lain:
- Ki Ageng Mpu Ronggo Joyo (Mbah GanDesari) Pujon.
- Nini Dewi Garingging Sari (Buyut Gringging) Pujon.
- Ki Ageng Dhamar Moyo (Eyang Mpu Supo) Songgoriti.
- Nini Dewi Angin Angin (Nyai Mayang Sari) Srebet.
- Raden Mas Tejo Sampurno (Mbah Banter) Sisir.
- Raden Mas Wiryo Kusumo (Mbah Bener) Temas.
- Pangeran Roh Joyo (Mbah Wastu) Banaran.
- Nini Dewi Sekar Gadung Melati (Buyut Gadung Melati) Tonggolari
- Nini Sekar Arum (Buyut Darimah) Lajar.
- Raden Bagus Suwiryo (Mbah Ganden) Lajar.
- Adi Pati Wirojoyo (Mbah Singorejo) Lajar.
Sejarah selanjutnya Mbah Buyut Dharimah, Buyut Ganden beserta Buyut Singorejo dalam mengembangkan hutan saat itu bersamaan menunggu hasil bercocok tanam berupa Tuwuh akan tetapi yang dapat dimakan saat itu hanya ubi ubian liar yang menjalar (uwi lajer) untuk makanan keseharian. Setelah satu tahun bisa merasakan hasil pertaniannya Mbah Buyut Dharimah bersama Buyut Ganden berkeinginan untuk kembali kekampung halaman yang mana kampung halamannya terletak di Begelen Jawa Tengah.
Dalam rencana kembali kekampung halamannya yang terletak di Begelen Mbah Buyut Dharimah bersama Buyut Ganden menyepakati untuk yang menetap dan menjaga kampung sementara Mbah Buyut Singorejo. Setelah selesai keperluannya di Daerah Begelen Mbah Buyut Dharimah dan Mbah Buyut Ganden mengajak 15 (lima belas) orang sahabat dan saudara untuk diajak menetap di daerah yang baru yaitu Desa Lajar.
Setelah melakukan pembicaraan yang dirasa cukup antara Mbah Buyut Dharimah dan Mbah Buyut Ganden Juga Mbah Buyut Singorejo barsama ke lima belas Orang yang dari Begelen akhirnya dicapai kesepakatan pembagian lahan untuk dikelola sebagai lahan pertanian mengingat didaerah Lajar dianggap mempunyai lahan cukup subur untuk ditanami mengingat didukung banyaknya sumber mata air yang nantinya bisa di jadikan keperluan irigasi pertanian juga mudahnya merasakan hasil dari bercocok tanam yang mana kualitas pertaniannya beda dengan didaerah lain.
Mbah Buyut Dharimah menyarankan kepada seluruh sahabatnya untuk membuka lahan untuk dijadikan tempat tinggal selain diperuntukan lahan pertanian mengingat luasnya lahan saat itu dan masih banyaknya pepohonan atau masih berupa hutan belantara sehingga disekitar wilayah terdekat Mbah Buyut Dharimah lahan dikelola oleh tiga orang yaitu Buyut Rembyung, Buyut Sri Ruwek dan Buyut Mursoyi yang mana nantinya akan menjadi cikal bakal Dusun krajan seperti yang kita kenal saat ini, selanjutnya tiga sahabat lainnya ada yang bercocok tanam Kondur disebelah paling selatan yaitu Buyut Banteng Cowek, Buyut Karmo Joyo dan Buyut Mayang Sari namun sayang hasil panen tidak sesuai yang diharapkan di akibatkan kurangnya pemahaman terkait bertani dilokasi yang lahannya masih tergolong baru dalam Bahasa jawa hasil pertanian yang tidak normal disebut “Ngenderek kemawon” yang akhirnya menjadikan sebuah nama Dusun Ndurek di ambil dari kata ngenderek.
Disebelah timur pesanggrahan Mbah Buyut Dharimah ada lagi yang membuka lahan pertanian yaitu Buyut Marijah dan Buyut Ting Swan Lo yang seluruhnya dijadikan lahan persawahan mengingat mudahnya dalam mengatur aliran air sungai yang cukup besar debet airnya untuk memenuhi kebutuhan lahan pertanian saat itu dan akhirnya sampai saat ini dikenal dengan sebutan Dusun Sawahan yang mana hampir seluruh area persawahannya menjadi lokasi untuk tempat tinggal, sebelah utara pesanggrahan Mbah Buyut Dharimah menunjuk Buyut Khoiriyah, Buyut Degul dan Buyut Bago yang mana lokasi pertaniannya harus melewati daerah tebing cukup tinggi yang sulit dijangkau dengan berjalan kaki mengingat lokasi masih berbentuk hutan belantara saat itu sehingga muncul inisiatif dari ketiga beliau untuk menebang beberapa pohon Bendo yang cukup besar dijadikan jembatan penyeberangan untuk mempermudah perjalanan setiap harinya kelahan dan mempercepat waktu untuk membawa hasil pertanian sehingga seiring berjalannya waktu pada akhirnya daerah tersebut dikenal dengan perjalanan yang melewati / menyeberangi kayu Bendo dalam Bahasa Jawa dikenal dengan sebutan Sabrangbendo.
Dilanjutkan Buyut Marto Sukijan dengan Buyut Sukri Karmojoyo yang membuka lahan pertanian diwilayah sebelah baratnya pesanggrahan Mbah Buyut Dharimah mengingat sekitar lokasi lahan dilewati aliran sungai yang dipergunakan untuk memandikan ternak dengan sebutan orang Jawa saat itu dengan istilah “sungai ne penak Kedung lek digawe ngumbah sapi” dibawah pohon yang cukup besarkala itu, maka sampai pada akhirnya bagian tersebut sampai sekarang dinamakan Dusun Kedung.
Dan yang paling terakhir Buyut Tunggul Wulung bersama Buyut Among Tuwuh merencanakan membuka lahan pertanian disebelah utarannya sungai kedung yang sudah ditentukan oleh Mbah Buyut Dharimah yang mana lokasi untuk bertani harus melewati daerah yang cukup sulit dan curam memanjang kearah Gunung Arjuna,kesulitan dalam melakukan perjalanan untuk bertani itulah sehingga sering disebut sebut oleh beberapa orang saat itu dengan sebutan “curah ingkang ombo” karena hanya melalui lokasi itulah untuk menuju lahan pertanian sehingga lambat laun akhirnya lokasi tersebut disebut Cembo untuk mempersingkat kata kata Curah Ombo seperti yang kita ketahui saat ini salah satu Dusun di Desa Giripurno yang paling ujung timur adalah Dusun Cembo.
Mengingat panjangnya rentang perjalanan kepemimpinan di Desa Giripurno, maka sejarah Pemerintahan Desa Giripurno dengan urut-urutan Kepala Desa kurang lebih adalah sebagai berikut :
- Buyut Singorejo 1831 – 1860 29 Tahun
- Mbah Sarengat 1860 – 1888 28 Tahun
- Mbah Nasemun 1888 – 1898 10 Tahun
- Mbah Legimun 1898 – 1906 8 Tahun
- Mbah Nasemun 1906 – 1908 2 Tahun
- Giman Pak Cung 1908 – 7 Bulan
- Gimun Pak Sa’ip 1908 – 1913 5 Tahun
- Er Joyo Sjy 1913 – 1925 12 Tahun
- Sa’ib 1925 – 1928 3 Tahun
- Dahlan Pak Lumpat 1928 – 1932 4 Tahun
- Taseri 1932 – 1933 1 Tahun
- Daril Harjo Sampurno 1933 – 1965 32 Tahun
- Soereng Sasmito 1965 – 1987 22 Tahun
- Nuryasin Mangun Diharjo 1987 – 1993 6 Tahun
- Suliyanto 1993 – 1999 6 Tahun
- Bagong Santiko 1999 – 2001 2 Tahun
- Suma’an Pj 2001 – 2007 5 Tahun
- Sudarmaji 2007 – 2013 6 Tahun
- Suwanto SE 2013 – 2016 3 Tahun
- Untung Arif Efendi Plt 2017 – 2018 1,7 Tahun
- Andre Wijaya S.sos Pj 2018 – 2019 1 Tahun
- Suntoro 2019 – 2025 6 Tahun
Berdasarkan data tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa sampai dengan tahun 2020, Desa Giripurno sudah berusia 187 tahun 7 bulan.